Untuk menyuarakan aspirasinya, mereka mengundang anggota DPR RI, Romahurmuziy, Sabtu (29/3). Ketua Panitia, Noto mengatakan, biang keladi adanya diskriminasi tersebut yakni PP Nomor 48 Tahun 2005. “PP tersebut menjadi musuh besar kami,” dia.
Kisruh, salah seorang guru wiyata bakti mengeluhkan perlakuan ini. Perbedaan perlakuan yang dikeluhkan guru wiyata bakti di madrasah antara lain dalam hal alokasi anggaran. Berbeda dengan guru wiyata bakti di sekolah umum, guru wiyata bakti madrasah tidak memperoleh tunjangan kesejahteraan yang bersumber dari APBN maupun APBD.Dia yang sudah mengajar sejak awal tahun 1990 an, hingga kini baru memperoleh gaji sebesar Rp 200 ribu per bulan.
Saeful Bahri, guru wiyata bakti dari Penusupan Kecamatan Pejawaran, berharap agar ada perhatian dari pemerintah. “Kita maunya diangkat menjadi PNS,” ujarnya.
Lilis, guru RA dari Mandiraja mengatakan, berdasarkan informasi yang diterimanya, dia tidak mungkin diangkat menjadi PNS. “Kita mengadukan ke instansi terkait, namun jawabannya kita tidak mungkin diangkat menjadi PNS,” katanya gusar.
Menurut dia, alasan guru RA tidak mungkin diangkat menjadi PNS karena terganjal peraturan.“Kalau peraturannya tidak diubah, sampai kapanpun kita tidak mungkin diangkat menjadi PNS,” ujarnya. Romahurmuziy atau yang juga dikenal dengan Gus Romy mengakui, selama ini peta yang ada dalam Kemenag dan Kementerian Pendidikan berbeda jauh.
Menurut dia, di sekolah yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan, memperoleh fasilitas yang memadai dari alokasi APBN. “Ini berbeda jauh dengan madrasah,” ungkapnya. Menurut Gus Romy, PP Nomor 48 Tahun 2005 tidak direvisi, harapan guruwiyata bakti yang mengajar di madrasah untuk menjadi PNS akan sulit terwujud.