Sumber daya mineral beraneka ragam terkandung di dalam perut bumi pertiwi. Minyak bumi, batu bara, emas, bauksit, pasir besi, dan sebagainya. Sumber energi lain, seperti panas bumi, misalnya. Tercatat hampir 50 persen sumber panas bumi di dunia, berada di negeri kita.
Flora dan fauna beraneka warna, yang tak akan dijumpai di belahan bumi manapun kecuali di negeri kita. Posisi geografis negeri kita juga sangat menguntungkan, karena kita memiliki iklim tropis, yang menyebabkan antara panas dan hujan berada dalam posisi yang seimbang. Keadaan ini sangat baik bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Bangsa kita juga memiliki kekayaan kuliner yang tidak dipunyai oleh bangsa manapun di dunia.
Selain itu, kita pun memiliki sumber daya manusia (SDM) yang melimpah. SDM yang bangsa kita miliki juga memiliki potensi yang beragam. Kejamakan (pluralisme) yang ada, sesungguhnya juga merupakan kekayaan lain yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, selain Indonesia. Pluralisme itu meliputi agama, etnis, bahasa, warna kulit, dan lain-lain.
Keadaan alam negeri kita sangat eksotik. Gununggunung, pantai, lembah dan ngarai, menjadi kekayaan wisata tersendiri, yang tidak dipunyai kawasan dunia manapun, selain Indonesia. Sebanyak 30 persen jumlah gunung api di dunia, atau 127 buah gunung api aktif berada di Indonesia.
Wilayah negeri kita dilalui oleh deret pegunungan Mediterania, yang berada di semananjung Sumatera, baik bujur dalam maupun luar, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua. Di wilayah Maluku dan Sulawesi, mengalir deret pegunungan Sirkum Pasifik. Semua itu Menyebabkan kita kaya gunung api. Keberadaan gunung api juga membawa berkah tersendiri bagi negeri kita. Tanah-tanah di negeri kita menjadi subur, yang memungkinkan tumbuhnya berbagai tanaman pangan yang dibutuhkan bagi kehidupan masyarakat kita.
Tak salah jika Bung Karno menggambarkan negeri kita sebagai Zamrud Khatulistiwa. Koes Plus dalam sebuah lagunya, mengilustrasikan negeri kita sabagai Tanah Surga. Kesuburannya digambarkan ibarat tongkat kayu di batu jadi tanaman.
Artinya, kekayaan yang negeri kita miliki, sudah lebih dari cukup untuk menciptakan kehidupan “surgawi“ bagi penduduknya, yaitu kehidupan yang sejahtera, sebagaimana dipesankan dalam ajaran agama (Islam), dengan istilah baldatun toyyibatun warabbbun ghofur. Kehidupan surgawi dalam kitab suci (Alquran), dideskripsikan sebagai kehidupan yang sejahtera dan penuh rasa syukur kepada Tuhan (Yunus: 10).***
Kehidupan yang sejahtera dan rasa syukur adalah sikap yang ekuivalen. Sejahtera juga tidak identik dengan, banyaknya kekayaan dan harta yang dimiliki oleh seseorang. Sekaya apapun seseorang, tidak menjamin hidupnya sejahtera jika tidak memiliki sandaran vertikal kepada Tuhan, yang terekspresikan dengan rasa terima kasih (syukur).
Dalam surat Ibrahim, Allah bahkan mengancam orang yang tidak mensyukuri karunianya dengan azab yang sangat pedih (ayat:7). Rasa syukur didefinisikan sebagai usaha menggunakan nikmat dan karunia, sesuai dengan kehendak dan keinginan yang memberi nikmat. Jika tidak demikian, maka seseorang akan jatuh kepada kekufuran dan kemaksiatan, yang dapat mendatangkan bencana.
Dalam surat Al A’raaf ayat 96 diterangkan, kunci keberkahan yang datangnya dari langit dan bumi, adalah ketakwaan. Tetapi sebaliknya, dari langit dan bumi muncul azab, dikarenakan adanya pendustaan terhadap hukum dan ketentuan Tuhan.
Moral jahiliyah tidak mengenal dimensi ruang dan waktu. Muhammad Qutb dalam bukunya Jahiliyah Modern,mendefinisikan kehidupan jahiliyah adalah orang atau masyarakat yang menolak hidayah Tuhan.
Maka, berbicara masalah moral menjadi penting. Agama diajarkan untuk senantiasa membentuk karakter moral yang agung. Moral yang baik, adalah muara dari ajaran agama. Agama bukan menjadi tujuan itu sendiri. Agama bersifat “mugnian ‘anhu“, mencukupi dirinya sendiri (Al-Hijr:9).
Moral inilah yang menjadi instrumen relasi antara manusia, Tuhan, dan alam semesta. Jika relasi di antara ketiganya terganggu, maka relasi itu akan mendatangkan bencana.
Demikianlah sesungguhnya yang terjadi di negeri kita. Negeri sejuta potensi surgawi, akan berubah menjadi neraka. Neraka dalam pengertian sesungguhnya pun mudah terjadi di negeri kita, karena kita berada di kawasan ring of fire.
Pengertian kehidupan seperti neraka ditunjukkan berupa bencana yang datang silih berganti, seolah tanpa henti. Keadaan ini disebabkan ada yang terganggu dari relasi kita dengan Tuhan, alam semesta, dan sesama.
Tsunami, gunung meletus, badai, banjir, tanah longsor, wabah penyakit adalah narasi yang tak jauh dari hidup negeri kita. Bagaimana pun pembangunan kita lakukan, dengan mengerahkan potensi sumber daya yang ada, akan kembali sia-sia, jika bencana terus berdatangan. Hal ini pun dengan catatan, pembangunan yang kita lakukan, tidak salah kelola, tepat sasaran, dan tidak mengalami kebocoran anggaran, akibat korupsi, mark up, dan suapmenyuap.
Fakta dalam penegakan hukum menunjukan hal yang mengejutkan. Praktik moral hazard, berupa korupsi, mark up, kongkalikong, dalam tata kelola pembangunan, sangat memprihatinkan. Dalam bahasa agama, sikap moral seperti itu adalah bentuk dari kekufuran dan tidak adanya rasa syukur terhadap karunia Tuhan. ***
Alam mikrokosmos kita mengalami problematika serius. Mungkin Tuhanmulai bosan, melihattingkah kita yang selalubangga dengan dosa-dosa.Atau alam mulai engganBersahabatdengan kita,coba kitatanyakanpada rumputyangbergoyang.
Lagu populer Ebiet G Ade itu Secara sibernetik menunjukkan dan menggambarkan pentingnya keserasian relasi antara manusia (alam mikrokosmos) dan Tuhan serta alam semesta (makrokosmos). Jika kehidupan alam kecil bangsa kita tak segera diperbaiki, seuai dengan misi Nabi, padahal potensi menciptakan kehidupan surgawi sangat besar, maka yang kita lihat, bencana tak pernah kunjung usai. Alquran telah mendeskripsikan sejarah umat-umat dahulu yang ingkar terhadap Tuhan dan Rasul-rasulnya.
Perlu menjadi catatan, wilayah negeri kita berada di tiga patahan lempeng benua. Pergeseran atau naik turunya patahan ini, akan mengakibatkan gempa yang besar dan dapat memicu munculnya gelombang tsunami yang bisa mengancam keselamatan penduduk negeri kita.
Secara ilmiah, jikalau Tuhan terikat kepada kaidah-kaidah ilmu, secara teknis. maka Indonesia adalah kawasan yang paling mudah dikiamatkan (dilenyapkan) dibanding kawasan lain di dunia. Tetapi Tuhan tidak terikat kepada ilmu. Tanpa potensi bencana, sekecil apapun dapat membahayakan.
Sebaliknya, potensi bencana yang besar, juga dapat diubah menjadi berkah yang besar pula. Berkah itu datang jika kita semua kembali kepada hukum-hukumnya. Ketakwaan bahkan dapat menjadi solusi persoalan bangsa (At-Thalaq: 2-4). Semua tergantung kepada penduduk negeri kita. Apa syukur ataukah kufur terhadap karunia Tuhan.
“Maka apakah penduduknegeri itu merasa aman darisiksaan kami yang datangmalam hari ketika merekasedang tidur? Atau apakahpenduduk negeri itu merasaaman dari siksa Kami yangdatang pagi hari ketikamereka sedang bermain? Ataumereka merasa aman darisiksa dari Allah ( yang tidakterduga-duga )? Tidak adayang merasa aman dari siksaAllah kecuali orang-orangyang rugi”(Al A’raf: 97-99).
Apakah kita akan menjadi narasi selanjutnya dari negeri-negeri yang telah dilenyapkan oleh Tuhan sebagaimana yang terjadi di masa lampau? Wallahu a’lam. (*)