Melalui Kepres, Presiden menetapkan bahwa dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dari atau komunitas tjina/ina/hina diubah menjadi orang dan atau komunitas Tionghoa. Dan penyebutan negara Rebuplik Rakyat China (RRC) diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Selama ini warga keturunan etnis Tionghoa memang enderung risi ketika disebut China atau Cina. Istilah itu menjadikan mereka seolah-olah tidak diakui sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.Apalgi pada zaman orde baru, warga Tionghoa mendapat perlakuan yang yang tidak sepantasnya. Pengakuan sebagai WNI begitu susah didapatkan. Untuk tinggal di Indonesia, mereka harus memiliki surat bukti kewarnagenaraan Republik Indonesia.
Kini produk-produk hukum yang diskriminatif satu per satu dicabut. Kewajiban etnis Tionghoa mengurus surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia sudah ditiadakan. Para etnis Tionghoa sekarang cukup berbekal KTP seperti WNI pada umumnya.Warga Tionghoa sangat berterima kasih kepada Gus Dur yang saat menjadi presiden mengakui Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia. Imlek juga dijadikan hari libur nasional. Bukan hanya itu, larangan memainkan kesenian etnis Tionghoa seperti barongsai juga dicabut Gus Dur.
Kepres 12/2014 merupakan sebuah terobosan penting dalam upaya menciptakan suasana kehidupan yang bebas diskriminatif ras dan golongan. Dan kepres juga meluncur dengan mulus, tanpa ada yang menentang. Hal tersebut menunjukan bahwa masyarakat kita sudah memiliki kesadaran tinggi terhadap pluralisme.
Rasanya, sudah tidak ada lagi warga Indonesia yang memandang etnis Tionghoa bukan sebagai WNI. Etnis Tionghoa di Indonesia kini juga bisa menjalani profesi apapun. Tidak hanya sebagai pedagang seperti puluhan silam. Bahkan etnis Tionghoa bisa menjadi kepala daerah dan didukung WNI berbagai etnis.
Kita bisa lihat Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok. Gayanya yang galak kepada para pejabat malas di DKI menuai dukungan luas dari masyarakat. Ahok tidak lagi dipandang sebagai etnis WNI dari etnis Tionghoa, tetapi sudah dianggap sebagai salah seorang pemimping teladan di Indonesia.
Kalau rakyat Indonesia sudah snagat welome terhadap etnis Tionghoa, sebaliknya jangan ada lagi WNI etnis Tionghoa yang bersikap eksklusif atau hanya mau bergaul dengan etnisnya. Mari, kita kubur kata China, biasakan menggunakan istilah Tionghoa untuk menyebut etnis dan RRT untuk menyebut negara.