Pesantren dan Tantangan Modernitas

iklan radar banyumas, gratis iklan
SEBAGAI lembaga tafaqquhfiddin, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama tertua di Indonesia yang memiliki keunikan baik pada bentuknya, kepemimpinanya, tradisinya, maupun pelajaran yang diajarkannya yaitu melalui kitab kuning. Kitab kuning sebagai materi ajar dalam proses pembelajaran di pesantren memiliki dua keunikan. Pertama, dalam memahami makna setiap kalimat digunakan rumus yang khas misalnya menggunakan utawi iki iku dengan huruf mimdan kha dan seterusnya dengan terlebih dahulu memahami kedudukan/tarkib menurut kaidah ilmu nahwu dan sharaf. Kedua, menjabarkan analisis makna baik yang bersifat manthuqat sampai dengan mafhumat.

Ciri lain dari tradisi pengajaran ilmu di pesantren adalah para kiai memunyai sambungan langsung secara turun temurun dengan guru-gurunya sampai dengan pengarang (muallif) kitab dalam mata rantai pembelajaran yang disebut silsilah atau sanad. Proses transmisi pengetahuan yang semacam ini lebih menjamin keterjagaan kebenaran pengetahuan yang disampaikan oleh guru-guru yang memang memiliki otoritas keilmuan di bidangnya. Model ini penting dilestarikan untuk mengimbangi kecenderungan orang sekarang ini yang belajar agama melalui internet dengan mengakses pengetahuan agama tanpa jelas penulis dan sumbernya.

Tradisi mengkaji persoalan hukum baru di kalangan pesantren dalam bentuk munadharah atau bahtsul masailmerupakan cara pesantren merespon problematika hukum kontemporer (al-waqiah alhaditsah) yang dibutuhkan jawabannya oleh masyarakat.

Oleh karena itu, di era globalisasi sekarang ini, pesantren tampaknya perlu melakukan kajian masalah-masalah hukum baru dengan pendekatan baru dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan melibatkan para pakar di bidangnya masing-masing. Kalau hal itu dilakukan oleh kalangan pesantren, maka kitab kuning akan mampu berdialog dengan berbagai referensi ilmiah di luar pesantren. Pola istinbath al-ahkamsecara jama’i (kolektif ) dalam membahas suatu persoalan hukum merupakan satu model yang sekarang lazim digunakan.

Tantangan Modernitas Arus globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi terus berkembang seiring dengan kemajuan tingkat peradaban manusia. Dunia seakan desa kecil tanpa ada batas-batas geografisnya. Apa yang terjadi dan yang dibicarakan di belahan dunia manapun dapat disaksikan dan didengar oleh bangsa lain..

Satu produk globalisasi adalah proses internalisasi pemikiran dan gerakan keagamaan baik yang mengarah pada pemaknaan agama yang inklusif maupun eklsklusif. Inklusifisme pemikiran keagamaan melahirkan sikap toleran dan apresiatif terhadap keragaman. Sedangkan eksklusifisme keagamaan melahirkan cara pandang keaagamaan yang intoleran dan cenderung radikal pada level gerakan.

Radikalisme pemikiran dan gerakan secara tidak langsung lahir sebagai akibat dari globalisasi pemikiran sebagai konsekuensi diaspora pemikiran keagamaan yang lahir dalam setting budaya pencarian kebermaknaan agama dalam kehidupan. Bukti dari arus gerakan Islam dengan corak baru di Indonesia adalah fenomena masuknya gerakan dan pemahaman Islam yang tidak mencerminkan Islam yang khas Indonesia tetapi lebih menggambarkan karakter khas Timur Tengah.

Dalam konteks Indonesia, berbagai aliran baru muncul dengan berbagai nama kelompok dengan keragaman atribut, cara pandang dan agenda gerakannya. Dalam posisi demikian, pemahaman keislaman yang mewakili tradisi dan kultur ke Indonesiaan lambat laun mulai terdesak. Dengan demikian, tampak nyata ada pertarungan antara kelompok Islam lokal dengan Islam transnasionaluntuk berebut ruang dominasi pada ranah publik (publicsphare) yang memungkinkan menampilkan citra Islam yang tidak bersatu dan masing-masing berjalan dengan agendanya masing-masing. Oleh karena itu, kampanye perlunya pemaknaan paham agama yang toleran, ramah terhadap perbedaan, dan apresiatif terhadap tata nilai budaya lokal ke-Indonesiaan menjadi sangat signifikan dalam membangun kerangka pemahaman Islam yang khas nusantara yaitu pemahaman Islam yang tidak tercerabut dari akar kultural bangsa Indonesia.

Pancasila adalah lima butir yang digali, dipilih, dan merupakan kristalisasi dari sekian banyak nilai luhur yang terdapat pada perbendaharaan budaya bangsa Indonesia. Lima butir itu dirangkai dan disepakati bersama menjadi dasar negara, ketika kita mendirikan Republik Indonesia merdeka. Lima butir luhur yang digali dan dipilih itu disepakati menjadi dasar negara nasional karena prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya diterima dan dibenarkan oleh semua golongan atau kelompok dari bangsa Indonesia, baik kelompok ideologi, kelompok etnis, kelompok budaya maupun keagamaan. Lima butir nilai luhur yang diserangkaikan itu merupakan hasil konsensus maksimal yang merupakan ”kalimatin sawain bainanawabainakum”, bagi bangsa dan warga negara Indonesia dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan segala kemajemukannya.

Perjuangan pembumian ajaran Islam adalah kewajiban agama dengan memperjuangkan sesuatu yang paling mungkin dicapai, dan sesuatu yang paling mungkin dicapai adalah yang paling tepat digunakan. Dalam konteks hukum agama (bidang muamalah) berlaku prinsip apa yang disebut dengan prinsip ‘tujuan dan cara pencapaianya” (al-ghayah wa al-wasail). Selama tujuan masih tetap, maka cara pencapaiannya menjadi sesuatu yang sekunder. Tujuan hukum akan selalu tetap, tetapi cara pencapaianya bisa berubahrubah seiring dengan dinamika zaman.

Terdapat beberapa khashaish(ciri-ciri) pengembangan pemikiran (fikrah) yang dianut oleh kalangan pesantren. Pertama, fikrah tawassuthiyyah(pola pikir moderat), artinya senantiasa bersikap tawazun(seimbang ) dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan tidak tafrith atau ifrath.

Kedua, fikrah tasamuhiyah(pola pikir toleran), artinya dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun akidah, cara pikir, dan budayanya berbeda. Ketiga, fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah).

Keempat, fikrah tathowwuriyah(pola pikir dinamis), artinya senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. Kelima, fikrah manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhajyang telah ditetapkan oleh salafusshalih melalui peawisan yang turun temurun berlandaskan kitab-kitab klasik/kitab kuning.

Lanjutkan dengan membaca artikel berikut :