Kitab biografi ilmuwan pada galibnya juga seperti itu. Namun, selalu saja ada penulis yang mengungkapkan kedua sisi hidup mereka. Sebab, betapapun jeniusnya seorang Albert Einstein, ia manusia yang tidak luput dari ambisi, ketidakpedulian, juga amarah. Einstein menyadari bahwa ia tidak begitu hebat dalam menuangkan gagasan ke dalam perumusan matematis dan ia berutang budi kepada kawan-kawan dekat yang membantu merumuskannya.
Terdapat beberapa kitab yang layak dibaca, sebagian di antaranya ialah biografi Albert Einstein, Leonardo da Vinci, John Nash, Galileo Galilei, maupun Richard Feynman. Buku-buku tentang mereka ditulis begitu manusiawi. Salah satunya bisa menemani Anda melewati hari libur.
EINSTEIN, Walter Isaacson
Kita harus memperlakukan Einstein bukan sebagai august scientific priest, tulis Walter Isaacson, melainkan pembangkang yang memburu rahasia di balik harmoni alam. Dorongan untuk mempertanyakan otoritas, sikap berandalan dalam menghadapi keteraturan, dan kurang menghormati kearifan umum berkontribusi bagi pencapaian Einstein dalam fisika.
Isaacson memotret Einstein sebagai manusia—orang hebat yang punya kelemahan, merasakan kegetiran hidup, kegagalan dalam perkawinan, tapi juga punya selera humor yang hangat. Ia sanggup membicarakan gagasan hingga larut malam sembari menikmati kopi kental dan mengisap cerutu kertas, lalu menggesek biola. Ia bukan sejenis ilmuwan yang hanya mengurung diri.
Banyak sudah orang menulis tentang Einstein, tapi Isaacson memberi konteks yang lebih menjelaskan ihwal pencapaian ilmiah Einstein dalam relasinya dengan orang-orang terdekat serta semangat zaman yang menyertainya. Isaacson memberi tempat berharga bagi orang-orang di sekeliling jenius ini. Mileva Maric, teman kuliah dan istri pertama Einstein, Herman Minkowski, serta Michele Besson sangat berperan dalam memeriksa dan membantu perumusan matematis gagasan Einstein.
THE SCIENCE of LEONARDO, Fritjof Capra
The Science of Leonardo mengisahkan kehidupan Leonardo da Vinci, seorang jenius asal Florence, Italia. Fritjof Capra, fisikawan yang menulis buku ini, sanggup menyalakan api hidup dan kehebatan karya tokoh Renainsans Eropa ini.
Orang mungkin lebih mengenal Leonardo sebagai pelukis—siapa yang tak pernah mendengar Monalisa? Tapi lelaki ini punya sisi lain yang jarang diungkap. Walaupun ia meninggalkan buku-buku catatan tebal dan penuh diskripsi rinci tentang eksperimen-eksperimennya, gambar-gambar cemerlang, dan analisis mendalam atas temuan-temuannya, namun hanya ada sedikit buku tentang sains Leonardo.
Sebagai ilmuwan dan insinyur, Leonardo memiliki keunikan yang tiada tara. Kehebatan visualnya yang selalu dipujikan telah membedakannya dari ilmuwan dan insinyur yang lain. Studinya mengenai anatomi lengan memperlihatkan gambar tangan yang detail, halus, dan dilengkapi dengan catatan-catatan mengenai fungsi-fungsi bagian lengan itu. Begitu pun ketika ia mempelajari pembuluh darah. Pendekatan Leonardo terhadap pengetahuan ilmiah bersifat visual, pendekatan seorang pelukis.
Lewat studinya yang cermat, Capra menunjukkan bahwa dengan bangkitnya pemikiran sistemik yang menekankan pada jaringan, kompleksitas, dan pola-pola organisasi, kita dapat lebih mengapresiasi kekuatan sains Leonardo dan relevansinya dengan dunia modern kita. Capra memperkaya kisah hidup pria flamboyan dari Florence ini dengan balutan pertikaian kekuasaan, intrik-intrik istana, persaingan di kalangan seniman dan ilmuwan, dan menyajikannya dengan jernih dan memukau.
GALILEO’S DAUGHTER, Dava Sobel
Masih tentang ilmuwan dari abad pertengahan, karya Dava Sobel ini tak kalah menarik. Melalui risetnya yang ekstensif atas surat-surat yang ditulis oleh Maria Celeste, Sobel menggambarkan ketegangan batin yang dialami oleh Galileo Galilei. Celeste adalah putri Galileo yang selalu memompakan semangat hidup bagi ayahnya.
Galileo’s Daughter mengisahkan dengan begitu haru hubungan antara ayah dan anak perempuannya, yang memilih jadi biarawati, serta ketegangan antara iman dan kebenaran ilmiah di awal perkembangan sains modern. Di dunia sains, nama Galileo ditulis dengan tinta emas karena metoda eksperimennya, sementara pemuka Gereja menghukum Galileo karena pandangan heliosentrisnya.
Galileo bekerja keras menunjukkan bahwa alam semesta yang berpusat pada Matahari merupakan gagasan lama, merujuk kembali ke zaman Pythagoras pada abad ke-6 SM, hingga berabad-abad kemudian dinyatakan kembali oleh Copernicus. “Usaha untuk menyembunyikannya hanya akan membuatnya tersingkap makin jelas dan terang,” tulis Galileo.
Dalam latar pertarungan gagasan, intrik politik, juga pengaruh kuat Gereja, Sobel menampilkan gambaran Galileo sebagai seorang ayah. Surat-surat Maria Celeste, agaknya, menjadi obat yang menghibur dan menguatkan hatinya di tengah pertarungan yang tidak seimbang itu.
A BEAUTIFUL MIND, Sylvia Nasar
A Beautiful Mind merupakan karya biografi lain yang sayang untuk dilewatkan. Sylvia Nasar memulai ceritanya yang panjang mengenai John Forbes Nash Jr. dengan memotret sebuah adegan. “Nash teronggok dalam sebuah kursi berlengan di salah satu sudut ruang tunggu rumah sakit, mengenakan kemeja nilon yang tidak rapi dan asal menggantung pada tubuhnya di atas celana tak berikat pinggang…,” tulis Nasar.
George Mackey, tamu yang mengunjungi John Nash, adalah professor di Universitas Harvard. Lama menunggu di depan John tanpa sepatah katapun terucap membuat Mackey mulai kesal. “Bagaimana mungkin,” ujarnya, “bagaimana mungkin Anda, orang matematika, yang berkomitmen terhadap akal sehat dan bukti-bukti bernalar.. bagaimana mungkin Anda percaya bahwa makhluk luar angkasa telah mengirim pesan kepada Anda?”
John Nash bukan tengah dirawat karena sakit jantung, melainkan karena didiagnosis menderita skizofrenia. Di usia 31 tahun, tatkala sedang berada di puncak kariernya sebagai matematikawan dan belum lama menikah, John terperangkap di dalam khayal-khayal yang menyiksa. Berulang kali ia harus meringkuk di balik tembok rumah sakit jiwa.
Selama tiga puluh John menjadi sosok yang asing dan sesekali muncul bak hantu di kampus Princeton University. Selama itulah, John tenggelam dalam kehidupan yang dituturkan kembali oleh Sylvia dengan amat menyentuh. Hingga kemudian, di masa tuanya, keajaiban terjadi: John sembuh dan meraih Hadiah Nobel untuk sumbangannya yang cemerlang tentang teori permainan. Russel Crowe memerankan karakter John Nash dengan bagus dalam film yang diangkat dari karya Sylvia Nasar ini.
GENIUS, James Gleick
Dalam kemashurannya sebagai fisikawan penting abad ke-20, ada sisi kehidupan lain dalam diri Richard Feynman, yakni cintanya kepada Arline Greenbaun. Wanita ini adalah gadis impiannya sejak SMA di New York City, menemaninya berdansa saat Feynman kuliah di MIT, dan menjadi teman hidup saat fisikawan ini menempuh jenjang kuliah yang lebih tinggi di Princeton University.
Hingga akhirnya situasi berubah ketika Arline diketahui mengidap lymphatic tuberculosis. Ketika itulah Feynman justru menikahinya di tengah tentangan orangtua. Tak lama kemudian, Arline memasuki sanatorium sementara Feynman bekerja di Los Alomos. Nyaris setiap akhir pekan, Feynman meminjam mobil dan mengendarainya untuk menjumpai Arline. Kondisi Arline memburuk, hingga empat tahun setelah perkawinan, ia meninggal.
Feynman menceritakan pada temannya bahwa tak seorang pun dapat memahami rasa senangnya menemani Arline pada tahun-tahun akhir kehidupannya. Dua tahun setelah kematian Arline, Feynman menulis untuk Arline: “Sukar bagiku untuk memahami dalam benakku apa artinya mencintaimu setelah engkau mati—namun aku masih merasa nyaman dan memperhatikanmu—dan aku ingin engkau mencintaiku dan mempedulikanku.” ***