Nah, para manajer mesti menemukan jalan untuk memastikan bahwa gagasan-gagasan baru terbaik dapat sampai kepada pengambil keputusan dan kemudian dieksekusi oleh orang-orang di bagian terkait. Kalau idenya tentang cara baru memasarkan produk, gagasan tersebut seyogyanya dapat dipastikan sampai sampai kepada orang-orang pemasaran.
Dalam konteks itulah diperlukan apa yang disebut-sebut sebagai ‘idea connector’ (konektor gagasan) yang berperan sebagai penghubung atau sejenis hub. Sebagai penghubung, idea connector semestinya orang-orang yang memiliki pengaruh untuk meneruskan gagasan itu ke jenjang yang lebih tinggi dalam organisasi. Katakanlah, posisinya setingkat manajer senior yang memiliki jaringan cukup kuat dalam organisasi dan dapat berhubungan dengan bagian-bagian lain dengan leluasa.
Banyak perusahaan yang telah menerapkan konsep idea connector. Manajemen perusahaan ini umumnya berprinsip bahwa gagasan yang bagus, apakah berupa produk, model bisnis, cara pemasaran, kiat promosi, layanan pelanggan, sampai kepada hubungan dengan masyarakat tidak lagi didominasi oleh orang-orang di departemen terkait. Gagasan ini bisa datang dari bagian mana saja dalam organisasi, bahkan dari jenjang di lapis bawah.
Agar gagasan bagus itu sampai ke telinga para pengambil keputusan, diperlukan idea connector. Google termasuk di antara perusahaan yang telah menerapkan konsep ini. Orang yang pernah menduduki posisi ini di antaranya Marissa Mayer dengan jabatan setingkat Vice President (hingga ia digaet oleh Yahoo! untuk menempati posisi CEO).
Sewaktu di Google, Marissa Mayer secara teratur mengadakan semacam sesi di mana para karyawan Google memperoleh kesempatan mepresentasikan gagasan baru kepadanya. Ia kemudian melakukan diskusi dengan karyawan sebelum memutuskan gagasan mana yang akan diteruskan kepada pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin. Pengalaman Google ini menunjukkan bahwa proses penjaringan gagasan itu perlu diformalkan agar semua karyawan memperoleh kesempatan yang sama untuk menyampaikan gagasannya.
Sebagai penghubung atau hub, Marissa dan orang-orang yang bertindak sebagai idea connector ini kerap didatangi karyawan perusahaan. Mereka menjadi penghubung di antara jejaring karyawan, sehingga mengetahui siapa sedang melakukan apa. Bahkan, menurut Eoin Whelan et al dalam Creating Employee Networks That Deliver Open Innovation, “Konektor bukan hanya mengetahui siapa orang di dalam perusahaan yang memiliki perangkat terbaik untuk mengeksplorasi gagasan, tapi juga siapa yang memiliki modal sosial yang diperlukan untuk mengerahkan jejaring itu secara cepat untuk memenuhi tantangan itu.”
Konsep ‘idea connector’ juga mulai diadopsi oleh beberapa universitas di AS. Syracuse University, misalnya, menerapkan konsep ini untuk mengembangkan kewirausahaan di kampus mereka. Pihak universitas membentuk apa yang disebut IDEA Connect Board. Anggota dewan ini direkrut dari kalangan mahasiswa juga. Anggota dewan diberi keleluasaan untuk mengendus gagasan-gagasan bisnis yang beredar di antara mahasiswa Syracuse. Mereka kemudian menghubungkan mahasiswa dari berbagai disiplin dan mempertemukan mereka di dalam tim-tim entrepreneur yang bisa saling mengisi.
Konsep ‘idea connector’ sangat membantu penjaringan gagasan terbaik dan tidak membiarkannya menghilang tertiup angin lalu. Untuk mengadopsi konsep ini dibutuhkan keterbukaan manajemen perusahaan terhadap gagasan yang datang dari karyawan di bagian manapun pada jenjang apapun. Seorang yang bertindak sebagai idea connector sudah semestinya orang yang terbuka terhadap gagasan kreatif dan bukan malah menjadi 'sumbat botol'. ***