Mencari dan Menemukan Dieng

Dalam sebuah acara resepsi pernikahan seorang sahabat, saya bertemu rekan wartawan Media Indonesia, Lilik Dharmawan. Awalnya kami berbagi cerita tentang kejadian-kejadian aktual yang terjadi di seputar kehidupan kami. Hingga pada satu titik, Lilik bercerita perihal feature terbarunya yang berjudul “Mahakarya di Kaldera Gunung Api Purba.” Artikel ini dipublikasikan di harian Media Indonesia, halaman 24 pada tanggal 9 Desember 2012 lalu.

Lilik tertarik untuk membuat tulisan tentang Dataran Tinggi Dieng, karena terpesona pada kemagisan dan keindahan dataran tinggi ini. Ia mengaku sangat terkesan, ketika Pemkab Banjarnegara menggelar Press Tour yang salah satu agendanya adalah mengunjungi, menikmati dan menginap di dataran setinggi kurang lebih 2.000 mdpl ini. Awalnya, ia bersikap agak apriori, mengingat perjalanan terjal yang harus ia dan rekan-rekan wartawan lalui untuk menuju ke sana. Tapi semuanya sirna ketika hawa sejuk dan kontur perbukitan hijau nan indah menyergap semua indera.

Singkat cerita, di Dieng, Lilik mengembangkan insting jurnalismenya dengan mulai mengumpulkan data dan contact person, seperti yang biasa ia lakukan. Salah satu tokoh pemuda desa Dieng Kulon, Alif Rahman, berandil dalam memberikan informasi menarik seputar sejarah Dataran Tinggi Dieng. Dari Alif, Lilik diperkenalkan dengan Tasrifan, sekretaris Forum Pengembangan Pariwisata Dieng. Investigasi pun berlanjut, hingga Lilik dibuat terpana oleh pengetahuan baru bahwa Dieng dulunya adalah pusat peradaban, religi dan pendidikan tertua dunia. Ini bukan isapan jempol, karena Lilik mengulik informasi ini langsung dari arkelog UGM Yogyakarta, Jajang Agus Sonjaya.

Hmm... sebagai putra daerah sebenarnya saya malu. Bukan pada ketidaktahuan saya akan fakta-fakta ilmiah tersebut, tapi pada rendahnya keingintahuan saya tentang sejarah-sejarah yang melingkupi kota kelahiran saya sendiri. Padahal, meskipun terlihat rumit dan tidak terlalu penting, pengetahuan ini sangat bermanfaat dalam kehidupan kita sehari-hari, ataupun dalam pertimbangan pengambilan kebijakan, khususnya bagi pengambil kebijakan daerah.

EKSOTISME DIENG

Dataran Tinggi Dieng sudah cukup dikenal wisatawan, baik lokal, nusantara maupun mancanegara. Namun sejauh ini, baru hal-hal bersifat profane yang menarik minat mereka. Paket wisata yang ditawarkan pun masih bermain ditataran fisik alam dan peninggalan sejarah. “Di Dieng ada komplek candi Hindu, telaga-telaga cantik, kawah-kawah, sumur bertuah, bla bla bla….” Begitu kurang lebih bunyi promosi dan brosur wisata tentang Dieng.

Lilik membuka mata saya dalam melihat Dieng dari sisi lain. Dalam feature-nya tersebut, Lilik bertutur tentang Dieng yang sejatinya adalah sebuah kaldera gunung api purba. Beberapa prasasti yang ditemukan, menggambarkan Dieng sebagai kailasa atau tempat suci dewa Syiwa, pusat dunia dan tempat bersemayam para arwah.

“Arkeolog Jajang bahkan menyatakan bahwa Dieng sebenarnya merupakan pusat pendidikan keagaman dan arsitektur. Pembangunan candi-candi di Dieng dilakukan selama 400 tahun, antara abad IX hingga XIII, pada masa itu, Dieng menjadi pusat pendidikan keagamaan dan arsitektur. Mereka belajar soal agama dan membuat beragam ukiran batu serta candi,” ujar Lilik anrtusias.

Woww…. Ini benar-benar mengagumkan. Saya jadi makin bangga menjadi orang Banjarnegara.
Masih dengan antusiasme yang sama, Lilik melanjutkan ceritanya bahwa orang yang belajar di Dieng tidak hanya berasal dari nusantara. “Jajang bahkan berani memastikan sebuah fakta bahwa orang India pun kala itu sudah menapakkan kaki di Dieng. Hal ini dapat dilihat dari adanya arca kudu di Candi Bima. Terlebih, fakta Dieng sebagai tempat pendidikan arsitektur dapat menjelaskan mengapa bentuk arsitektur candi di Dieng tidak sama satu lain. Pahatan atau arsitektur yang dibangun relative lebih kreatif karena merupakan hasil pengembangan pendidikan arsitek kala itu,” lanjut Lilik.

Warisan budaya Dieng tidak hanya sebatas kesejarahan geologi dan mahakarya candi, tapi juga mencakup interaksi budaya dengan bangsa lain, ujar Lilik. Jajang, lanjut Lilik, menuturkan bahwa dari hasil riset yang dilakukan UGM bekerja sama dengan National University of Singapore, menemukan bukti bahwa aktivitas perdagangan abad IX sudah terjadi di sekitar Dieng. Benda yang ditemukan ialah kaca dan keramik dari Dinasti Tang. Keramik tersebut sama dengan keramik yang ditemukan pada kapal yang tenggelam di perairan Belitung.

WISATA RELIGI DAN BUDAYA

Dieng memang penuh misteri. Sejarah maupun peninggalan-peninggalan arkeologinya masih banyak yang belum terpecahkan. Dari Tasrifan, Lilik mendapatkan cerita tentang wacana pembentukan Taman Syailendra. Gagasan ini muncul untuk menyatukan kawasan yang berhubungan dengan mahakarya candi tertua di Jawa tersebut. Ini baru sekedar konsep dan cita-cita, ujar Lilik menirukan Tasrifan, tujuan besarnya kami ingin menghidupkan lagi kejayaan masa lalu pada masa sekarang. Sehingga nantinya Dieng dapat kembali menjadi pusat wisata religi, harap Tasrifan.

Sebelum kami berpisah, Lilik mengungkapkan sebuah gagasan yang belum teruji kebenarannya, namun bisa jadi benar. Bahwa umat Hindu yang kini mendiami pulau Bali dan suku Tengger di lereng Bromo bisa jadi dulu berasal dari Dataran Tinggi Dieng. Mereka terpaksa mengungsi dan mencari tempat baru karena pegunungan Dieng beberapa kali mengalami dislokasi dan banjir hebat.

Wacana pengembangan Dieng sebagai pusat wisata religi, membuat saya teringat pernah membaca tulisan Bre Redana berjudul “Kebudayaan dan Politik Tubuh” di harian Kompas, hari Minggu, tanggal 23 Desember 2012. Dalam rubrik Gaya Hidup Kita, Bre menulis tentang keresahan manusia masa kini, yang berbondong-bondong mencari kembali akar tradisinya. Hal ini bisa dilihat, ujar Bre, dari usaha merengkuh kembali tradisi pada semua ekspresi kebudayaan modern. Seperti tampak pada musik atau fashion, dimana-mana terjadi proses akulturasi dengan sesuatu yang berbau tradisional.

Festival jazz mulai digelar di kota-kota kecil, di gunung, di pasar, di pelosok desa. Atau tren latah akibat catwalk jalanan yang digagas Jember Fashion Week? Belum lagi kesenian rakyat yang dulu sempat termarjinalkan, lanjut Bre, kini ditimang-timang. Festival kesenian rakyat kian ramai diselenggarakan dimana-mana.

Fenomena ini ditanyakan Bre, apakah ini hanya sebuah antitesis terhadap globalisasi? Karena nyatanya semua itu bukan sebuah laku tradisonal, yang mendekatkan diri dengan alam. Bahkan semua itu hanya komoditas. Bre pun menulis, yang paling meresahkan dari era digital dalam kebudayaan virtual ini adalah warisan kebudayaan yang tertelan percepatan waktu yang disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi.

Proses kembali ke tradisi, yang ditengarai Bre sebagai pencarian identitas kebudayaan, bisa jadi hanya merupakan gejala permukaan dari sesuatu yang ekssistensial : mencari jati diri. Dalam pacuan waktu yang kian sulit kita kuasai, manusia selain ‘berkesenian’ dengan cap tradisi,pada saat bersamaan kini berlangsung proses masifikasi kegiatan spiritualisme baru.

Nah, wacana Bre Redana tersebut menelurkan sebuah impian besar, bahwa Dieng memiliki keunggulan sejarah yang tiada duanya. Dieng sangat berpotensi dikembangkan sebagai sebuah destinasi wisata religi maupun budaya. Dengan sejarahnya sebagai pusat agama Hindu dunia dan keunikan  ritual cukur rambut gembel, Dieng akan mampu menyedot antusiasme wisatawan dunia yang sedang mencari jati diri. Tinggal bagaimana eksekusi yang akan diambil pemangku kebijakan tentunya.

TRADISI DAN JATI DIRI

Suatu malam, saya menjadi seorang penyelinap, pada sebuah pertemuan informal antara pemangku kebijakan dan dinas terkait dengan beberapa biro wisata nasional serta internasional. Meski tidak begitu mengikuti pembicaraan, tapi saya tertarik pada suatu fakta yang diungkap salah seorang pemilik biro wisata di Jakarta, bahwa paradigma destinasi utama pariwisata di Indonesia kini sedang mengalami pergeseran.

“Wisatawan, khususnya mancanegara, kini tidak hanya mengunjungi pulau Bali jika melancong ke Indonesia. Mereka tidak lagi mencari pantai dan segala jenis olah raga air yang ditawarkan dunia modern. Mereka lebih tertarik pada situs-situs purbakala yang sarat sejarah. Sekarang terbalik, dulu paket wisata yang kami tawarkan adalah empat hari di pulau Bali dan sehari di Yogyakarta atau wilayah lain, kini di pulau Bali cukup sehari, sisanya kami perkenalkan destinasi wisata lain yang lebih indah, salah satu unggulan kami adalah Dataran Tinggi Dieng,” ujar Chacha, salah satu pemilik biro wisata internasional.

Fakta ini adalah peluang sekaligus tantangan besar bagi Pemkab Banjarnegara. Peluang karena Dieng telah masuk menjadi salah satu destinasi utama wisata internasional, namun disisi lain merupakan tantangan besar karena membutuhkan kesiapan dan dukungan anggaran yang tidak sedikit.

Namun Pemkab tak perlu berkecil hati. Bisnis pariwisata adalah bisnis menjual jasa. Agar berhasil, berjualan jasa harus memakai hati. Fenomena kembali ke akar budaya dan tradisi ini harus benar-benar dimanfaatkan dan dipahami. Tengoklah lintasan tahun 2012 kemarin.  Keberagaman tradisi nusantara dalam mozaik keberagaman mendominasi panggung seni pertunjukan. Festival Kuwung (Pelangi) Banyuwangi, Festival Kebudayaan Tangerang, Gelar Tari Nusantara, Saman Summit, dan Dieng Culture Festival, meski belum setenar festival lainnya, namun memiliki materi dan kekhasan yang tak kalah bagus.

KELELUASAAN EKSPRESI

Sebenarnya, ikhwal dari semua perhelatan itu adalah adanya niatan kuat untuk mengembalikan hakikat kebudayaan ke pangkuan rakyat sebagai pemilik ‘sah’-nya. Artinya, festival atau apapun namanya, harus memberikan keleluasaan bagi ekspresi-ekspresi dalam ritus komunal, yang memperkaya budaya dan pandangan hidup bangsa.

Gelombang pasang tradisi ini, harus membuat kita lebih kuat memasang kuda-kuda untuk menghadapi dan menangkap setiap kesempatan yang ada. Kembali ke tradisi, atau akar budaya ini semua bermuara pada penguatan jati diri, menggali kebanggaan dan menggalang kebersamaan. Pada titik ini, kebudayaan memiliki fungsi yang amat politis, yakni membentuk kesadaran bersama bahwa pada dasarnya masyarakat kita dibangun di atas sendi-sendi keberagaman.

Publik juga makin teredukasi, bahwa seni tradisi tidak hanya menyajikan tontonan sebagai hiburan semata, namun juga memperkaya spiritual dan intelektual. Kembali ke Dieng, kita bisa belajar banyak hal. Betapa masyarakatnya begitu menjaga tradisi dan artefak-artefak kuno peninggalan Hindu ribuan tahun lampau. Kebudayaan Hindu tetap hidup dan berakulturasi dengan masyarakat Dieng, yang mayoritas beragama Islam.

Harmoni ini adalah aset, yang mengindikasikan toleransi, kebesaran jiwa dan kebanggaan dalam keutuhan kebersamaan. Meski kental dengan mitos, namun Dieng tidak kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat religius. Karena hingga kini, di Indonesia, sebuah fakta mitis tidak kalah penting dari fakta historis. Meski sebagai fakta historis, peradaban kuno Dieng telang hilang ditelan jaman, namun sebagai fakta mitis, ia tetap hidup dan ‘terus minta’ dihidupkan.

Gelaran Dieng Culture Festival adalah salah satu upaya bijak menjual Dieng dalam kerangka budaya dan tradisi. Dalam tiga kali penyelenggaraannya, festival ini mampu menyedot animo masyarakat dunia untuk mengunjungi Dieng. Sekarang, tinggal bagaimana kita menangkap peluang-peluang yang sudah di depan mata tersebut. Karena saya melihat Dieng sebagai potensi budaya dan wisata yang luar biasa, saran saya, cepatlah bertindak!

Lanjutkan dengan membaca artikel berikut :