Akibatnya setelah keluar dari penjara, sambungnya, anak bukanya sadar malah menjadi lebih mahir lagi dalam melakukan tindak kejahatan. “Selain itu, di dalam penjara. Anak-anak rentan terhadap tindak kekerasan dari orang dewasa pelaku criminal maupun rekan sebaya yang berebut kekuasaan di penjara. Kekerasan yang diterima bisa berupa kekerasan fisik, psikis, maupun seksual. Tentunya kita tidak ingin menciptakan generasi penjahat. Apa jadinya bangsa ini ke depan bila kita tidak melindungi anak-anak kita dari kekerasan sejak dini” katanya. Alasan-alasan seperti inilah, kata Hadi, yang mendorong saya untuk menolak anak-anak masuk penjara.
Penjara bukan tempatnya bagi anak-anak. Dan membawa anak ke pengadilan, lanjutnya, bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Ada cara lain yang lebih bijaksana dan hal itu juga merupakan pranata hukum, yaitu dengan menerapkan hukum adat. “Bila bisa diselesaikan dengan cara musyawarah kekeluargaan, tidak usah membawa masalah ke lembaga peradilan. Bila ada masalah anak-anak di desa, Kepala Desa turun tangan. Dirembug antar keluarga, diselesaikan secara baik-baik.
Membawa anak-anak dalam proses peradilan formal, bukanlah pilihan yang baik bagi anak” katanya. Kasubdit Program Diseminasi Direktorat Jenderal HAM pada Kemenkum Ham RI, Dra. Fetty mengatakan pemerintah sekarang ini tengah gencar-gencarnya melakukan sosialisasi Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012. Peraturan baru ini melakukan sejumlah perubahan yang berarti diantaranya adalah tentans pendekatan restorative justice, kewajiban proses diversi pada setiap tingkat, dan penegasan hak anak dalam proses peradilan.
“Di alam aturan yang baru ini, ada sejumlah asas dalam pelaksanaan SPPA dimana diantaranya mengutamakan asas perlindungan, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembingan anak, dan perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir” katanya. Salah satu kewajiban yang harus ditempuh oleh pihak berpekara sesuai SPPA, kata Fetty, adalah adanya kewajiban diversi. Diversi, lanjutnya, adalah pengalihan penyelesaian perkaran anak dari proses peradilan pidana ke proses peradilan di luar peradilan pidana.
Tujuan dari proses ini, sambungnya, adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab anak. “Diversi dapat dilaksanakan terhadap tindak pidana yang diancam maksimal 7 tahun penjara dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana” katanya. Diversi, lanjutnya, disarankan dilaksanakan di berbagai tingkatan. Pertama, lanjutnya, ditempuh setelah adanya tindak pidana antara korban dengan anak. Jika tercapai persetujuan, maka perkara tidak perlu dilanjutkan.
Jika gagal, maka perkaran dilanjutkan dalam proses di tingkat kepolisian. Pada tingkat ini, sambungnya, Polri juga akan mengupayakan diversi. Namun jika gagal, perkara dilanjutkan ke Kejaksanaan dan Pengadilan. “Proses diversi juga akan dilakukan terlebih dahulu di Kejaksaan dan Peradilan. Namun jika proses tetap gagal, maka pilihan terakhir yang harus ditempuh adalah putusan pengadilan” katanya. Namun pilihan diversi ini, kata Fety, bukannya tanpa resiko. Sejumlah kendala pun membayangi diantaranya belum siapanya sarana dan prasarana, pelapor/korban dan keluarga bersikeras menuntuk pelaku diproses pidana/ditangkap/ditahan.
Dalam proses diversi, lanjutnya, dimungkinkan terjadi pemerasan dari piahk korban terhadap pelaku dan keluarganya. “Dan yang paling kita khawatirkan adalah munculnya modus operandi baru dari pelaku dewasa yang memanfaatkan anak di bawah 18 tahun untuk melakukan tindak pidana” katanya. Sementara itu, Kabah Hukum Setda Yusuf Agung Prabowo, SH., M. Si., menyatakan tujuan dari kegiatan sosialisasi Ranham ini adalah untuk mewujudkan persamaan persepsi tentang Rencana Aksi Nasional hak Asasi Manusia dan Implementasinya.
Kegiatan ini, lanjutnya, diikuti oleh 350 peserta yang terdiri dari Kepala Instansi Pemerintah, Camat se Kabupaten, Lurah dan Kades se Kabupaten, serta LSM dan tokoh masyarakat. “Harapan kami adalah Pemkab beserta jajarannya segera mewujudkan penghormatan, pemajuan, dan penegakan HAM di berbagai tingkatan” katanya